Sekelompok orang akan memadatkan usianya dengan beragam karya, aktif menjadi pemain, berdiri tegak menantang badai, ataupun berlari menerjang angin. Namun, ada pula sekelompok orang yang sudah cukup puas dengan hidup seperti air, mengalir saja. Tak perlu menilai si A, B, dan C. Mari evaluasi diri sendiri, kita termasuk yang mana?
Setiap manusia yang diciptakan oleh Allah adalah sebuah mahakarya yang sangat dihormati dan tidak akan ternilai secara materi. Begitupun kita, salah satu dari sekian yang tercipta. Apabila kita tidak bersemangat agar hidup makin hidup dan agar semangat menebar manfaat, sungguh rugi apabila setiap waktu menjadi hal yang tidak mendekatkan diri pada kebaikan. Sebab diamnya seorang manusia yang tidak memahami makna hidup sesungguhnya, dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk kedzaliman, jika usia yang dianugerahkan untuk kita hanya numpamg lewat dalam sejarah, tidak ada prestasi apalagi warisan untuk anak cucu nanti, terlebih lagi tidak pernah berkontribusi. Walaupun Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan pada malaikat untuk menuliskan ketetapan yaitu rezeki, ajal, dan celaka atau bahagiakah hidup seorang manusia, wujud tawakkal tidak hanya kita berdiam diri menerima. Adapun perintah kita berikhtiar juga Allah telah berfirman dalam Al Quran QS. Al Jumuah: 10 “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebarlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.
Berdasarkan fitrahnya, sangat tidak mungkin jika setiap pribadi tidak pernah melakukan amalan saleh apapun, sebab manusia paling durjanapun juga tidak mungkin lahir untuk menjadi seorang pendosa. Perjalanan waktu saja yang memberikan ujian akan suatu makna dan permata yang harus ia pahami melalui intuisi dari setiap kejadian. Allah akan selalu merahmati manusia dengan menunjukkan bukti-bukti yang nyata akan suatu kebaikan dan kebenaran. Sehingga setiap manusia sudah memiliki modal untuk menjadi orang yang baik. Islam dengan ajarannya yang mengandung nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin telah memberikan petunjuk hidup manusia melalui Al-Quran dan Al-Sunnah yang diajarkan dengan sempurna melalui seorang manusia yang terpuji lagi dicintai oleh Allah yaitu Rasulullah sholallahu alaihi wassalam.
Keluhuran beliau tercermin nyata baik dalam mendapati segala kebaikan dari Allah maupun ujian dari Allah baik berupa cemoohan, hinaah, tantangan, ancaman, hingga pemboikotan, namun Rasulullah tetap menampakkan akhlaknya yang mampu menahan hawa nafsu. Kemuliaan yang terpancar itu dikenalkan kepada kita, apa yang disebut sebagai permata dalam diri manusia. Sehingga kita memahami bagaimana agar hidup ini tidak tersesat dalam kedzaliman, baik saat masih hidup di dunia maupun yang dapat berdampak setelah berpulang di kampung halaman kita kelak (akhirat). Suatu hal yang sering kita remehkan adalah ungkapan “sedikit dosa” padahal hal besar yang tidak kita sadari adalah “sedikit dosa” yang justru mampu menggusur pahala, menjauhkan diri dari kebaikan dan bahkan mampu mengeliminasi rahmat dan berkah. Sehingga dengan hadirnya agama menjadi wujud mengajak kepada orang-orang berakal untuk bertakwa pada Allah.
“Empat macam perkara yang terdapat dalam tubuh anak Adam akan hilang oleh empat perkara. Adapun permata-permata itu adalah akal, agama, malu, dan amal saleh; marah akan menghilangkan akal, hasud akan menghilangkan agama, tamak akan menghilangkan malu, dan mengumpat akan menghilangkan amal saleh.” (dalam kitab Nashoihul Ibad, Syekh Muhammad Ibnu Umar Al-Jawi)
Fitrah manusia adalah melakukan kebaikan. Walaupun kata ketidaksempurnaan disematkan pada manusia, namun seringkali kita terjerumus terhadap hawa nafsu. Sebagaimana yang dimaksudkan adalah kecenderungan untuk memenuhi keinginan di luar syarak. Hawa nafsu itu pula pangkal dari pada sebuah perbuatan dosa. Sehingga sangat rugi apabila akal sebagai mutiara rohani akan hilang karena marah dan agama sebagai pilar untuk mengajak diri beramal saleh menjadi hilang karena hasud. Hasud ini akan melahap kebajikan-kebajikan sebagaimana api melahap kayu bakar. Tamak akan menghilangkan malu, serta mengumpat yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Di zaman yang serba bebas dalam menggunakan sosial media, sering kali hal tersebut akan menjadi jembatan bagi kita, yang tidak sadar ternyata merugikan atau membuat orang lain tidak nyaman akan adab kita dalam menggunakannya. Banyak yang merasa pendapatnya benar dan lidahnya fasih dalam bertutur kata, namun hatinya lalai dan merendahkan yang lain. Banyak pula yang menjadi provokator, namun pintar membodohi atau bahkan tak paham akan ilmunya sendiri. Perasaan yang selalu mengedepankan hawa nafsu, diam-diam sudah melahap amalan-amalan saleh yang sudah kita lakukan. Hati yang sering hasud terhadap nikmat yang diterima orang lain, atau berambisi tamak untuk memperoleh banyak hal dan merugikan yang lain, serta mudah tersulut amarah ketika tidak mampu menerima ketidakcocokan terhadap takdirnya. Kita harus mengingat bahwa merasa baik adalah suatu bentuk kesombongan. Selagi usia masih dikandung badan, kiranya kita selalu bermuhasabah, menjadi manusia yang mulia tanpa menghina sesama, yang terhormat, menjaga iffah, izzah, dan tidak mudah mengumpat ketika melihat hal yang tidak tepat, serta menjadi seorang yang berharga tanpa harus merendahkan sesama. Untuk itu kita harus bisa berhati-hati dan mampu menghindarkan diri dari marah, hasud tamak, dan mengumpat, serta sifat buruk lainnya. Allahu a’alam bi shawab.